Selasa, 03 Maret 2020

Abu, Debu dan Rabu Abu

Debu dan Abu di PL 

Catatan : Abu berbeda dengan Debu

Di masa PL, debu dan abu digunakan sebagai penanda penyesalan, dukacita (kesedihan) dan kepahitan (mourn and bitterness).

Debu 
Tiga sahabat Ayub merobek jubah mereka dan menaburkan debu di atas kepala mereka sebagai tanda kesedihan atas apa yang dialami Ayub (Ayub 2:11-12).

Debu dan Abu

Ayub menyamakan dirinya dengan debu dan abu sebagai tanda penyesalan (repent) setelah Allahnya berfirman kepada dia menjawab gugatan/komplain yang sebelumnya diucapkannya kepada Allahnya. (Ayub 42:6)

Abu 
Dari Kitab Esther 4:1-3  kita ketahui bahwa  perobekan jubah dan pemakaian abu adalah tanda kesedihan yang dilakukan Mordekhai dan kemudian oleh orang Yahudi. Kesedihan akibat pembantaian yang akan dialami bangsa Israel akibat adanya peraturan baru Kerajaan Persia.

Demikian pula yang tertulis di Kitab Yehezkiel, menaruh debu di atas kepala dan berguling di abu adalah tanda kesedihan (Yeh27:30)

Satu-satunya ayat yang secara langsung menunjukkan peletakan abu di atas kepala adalah yang dilakukan Tamar di 2 Sam 13:19.Tamar bersedih atas kejahatan yang telah dialaminya.


Abu di PB
Percikan abu lembu muda untuk menguduskan yang najis (Ibrani 9:13-14).

------------

Walaupun debu dan abu digunakan orang di masa lalu sebagai tanda dukacita atau kepahitan namun penggunaan abu dan debu tersebut bukanlah sebuah perintah dari Allah,

Rabu Abu 

Nama Rabu Abu berasal dari pengolesan abu pertobatan di dahi para jemaat disertai dengan ucapan "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" atau diktum "Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu". (Kej 3:19). Catatan di PL yang pertama kali menganalogikan manusia sebagai debu dan abu adalah oleh Abraham yang tertulis di Kej 18:27.

Adalah Aelfric of Eynsham, seorang kepala biara Inggris, pada abad ke 10 yang pertama kali menempatkan ritual “dies cinerum” (day of ashes) sebagai awal dari rangkaian periode Paskah (Jumat Agung-Paskah).


Dia menulis :
“We read in the books both in the Old Law and in the New that men who repent their sins bestrewed themselves with ashes and clothed their bodies with sackcloth. Now, let us do this little at the beginning of our Lent that we strew ashes upon our heads to signify that we ought to repent of our sins during the Lenten fast. “

Dan kemudian dia memaksakan rekomendasinya ini dengan pencontohan yang menakutkan perihal seseorang yang menolak datang ke gereja untuk  Rabu Abu dan beberapa hari kemudian tewas secara tak sengaja dalam sebuah perburuan babi hutan(Aelfric, “Lives of Saints”, ed. Skeat, I, 262-266).https://catholicsay.com/what-is-ash-wedneesday/

Tradisi ini diikuti hingga saat ini oleh Gereja Katholik. Martin Luther menolak tradisi/ritual Rabu Abu ini.

Praktek menaburkan kepala dengan abu telah ada sebelum munculnya agama Kristen. Itu adalah simbol berkabung untuk orang mati di Yunani Kuno dan Mesir. Abu berfungsi sebagai pengingat bahwa tidak ada dari kita yang abadi dan cepat atau lambat kita akan menjadi debu, abu. 

(Sumber 1: https://culture.pl/en/article/why-do-poles-have-ash-sprinkled-on-their-heads)(Sumber 2 :https://christianity.stackexchange.com/questions/50887/what-is-the-origin-of-throwing-dust-over-head-as-a-sign-of-mourning-in-the-bib)


Kontemplasi :

Pengaitan dengan Kej 3:19
“dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu."

Debu berbeda dengan abu. Kembali menjadi debu adalah sebuah konsekuensi yang menggambarkan kesementaraan, ketidakfanaan, bukan penanda kesedihan atau penyesalan.


Kalau kita bicara ritual/simbol :

Pertobatan yg diajarkan  di Perjanjian Baru adalah  dengan baptisan air oleh Yohanes Pembaptis, dengan tujuan memohonkan hati nurani yg baik pada Allah (Mark 1:4 dan 1 Pet 3: 21)  dan dengan Baptisan Roh Kudus oleh Yesus/Allah yakni ketika si manusia serius dalam imannya. (Mat 28:19; Kisah 2:38-39)


Perihal pantang atau puasa :

Puasa atau pantang adalah karena mempelai wanita (alias manusia pengikut Yesus) menantikan dan mempersiapkan diri utk bertemu mempelai Pria (Yesus) yang digambarkan melalui perumpamaan tentang gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh (Mat 25:1-13).  Puasa dan pantang karena manusia sejatinya adalah anak-anak Allah dan tanah (materi, tubuhfisik/debu tanah) tidak ada tempatnya di kerajaan surga (Yoh6:63).

Kejadian 3:19 bicara tentang kefanaan manusia yang jatuh dalam dosa. Yang kemudian akan bersusah payah hidup dari tanah sampai akhirnya kembali ke dalam tanah, yakni tubuh fisiknya.

Adapun rohnya, roh tersebut harus hidup dalam Roh untuk beroleh hidup kekal, yang salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah dengan berpuasa.  Namun demikian, bukan puasa atau berpuasa itu yang menghidupkan si roh tetapi adalah karena Kasih Allah  (only by grace) sebagaimana dicontohkan ke penjahat yang disalibkan di sebelah Yesus yang meminta Yesus mengingatnya atau seperti kepada roh-roh yang terpenjara yang kepada mereka Yesus datang memberitakan Injil (1 Pet 3:19-20; 1 Pet 4:6). Mereka tidak puasa atau pantang tapi tetap diberikan kasih karunia Allah agar dapat hidup dalam roh.

Kembali ke penyataan Aelfric of Eynsham, kepala biara Inggris di bagian atas..
Dikutip ulang :

“We read in the books both in the Old Law and in the New that men who repent their sins bestrewed themselves with ashes and clothed their bodies with sackcloth. Now, let us do this little at the beginning of our Lent that we strew ashes upon our heads to signify that we ought to repent of our sins during the Lenten fast. “

Di mana ada tertulis di PB  (in the New) orang yang mengaku dosa menaburi tubuhnya dengan abu dan memakai baju dari karung ?

Shalom, TR