Kamis, 14 Juli 2011

Meributkan Urutan Ciptaan Di Kejadian

“Yang ini kok nggak logis ?”.  “Nggak mungkin ada ciptaan itu karena belum ada ini dan itu”.   “Yang ini bagaimana ?,  kok katanya sudah ada langit dan bumi di ayat ini, sementara di ayat satunya lagi nggak ada ?, absurd deh ini !”.  “Shamayim itu khan nama dewa bla..bla..bla..” “erets itu khan bumi bla..blaa.... “kenapa di ayat 1 tidak ada kata “berfirmanlah” ?”, aneh dan absurd tuh !...dstnya..dstnya...

Debat...debat...debat...

Memperbebatkan Kitab Kejadian, sepanjang masa memperdebatkan cerita penciptaan.. 

………………………..

Ada suatu masa dimana manusia menyatakan sesuatu ada atau suatu keberadaan adalah berdasarkan apa yang bisa dipersepsi oleh mata fisikalnya saja. 

Manusia menyatakan seorang manusia ada ketika si manusia itu 'keluar' dari perut ibunya. Sebelumnya manusia tidak tahu 'apa' yang ada di dalam 'perut' seorang manusia perempuan.

Lalu manusia berkembang, manusia bisa tahu apa yang ada di dalam 'perut' manusia perempuan, calon manusia juga, ternyata seorang manusia ada bahkan sebelum dia bisa dilihat oleh mata fisikal manusia lainnya. 

Telah terjadi pergeseran makna keberadaan, pergeseran definisi suatu keberadaan, suatu eksistensi.

Lalu manusia terus mencari dan mendapatkan makna keberadaan, makna eksistensi. Manusia menemukan dan bisa merasakan bahwa keberadaan manusia itu tidak semata ditentukan oleh keberadaan tubuh fisiknya saja. Melalui rasa (intuisi), melalui mimpi, kemudian melalui surat atau telepon, manusia bisa merasakan kehadiran seseorang. 

Kehadiran yang diwakili oleh media lainnya.

Adanya persamaan wajah atau sifat atau bahkan cara tertawa juga bisa membawa manusia pada kesadaran bahwa seseorang bisa hadir melalui orang lain. Seorang ayah yang “hadir” melalui anaknya, baik karena kemiripan wajah maupun watak atau cara tertawanya.

Sifat atau cara tertawa atau cara berpikir bisa terus ada walau tubuh fisik sudah tidak ada.
Kemudian manusia terus mencari, dan sebagian menemukan bahwa eksistensi manusia bahkan sudah ada sebelum tubuh fisiknya ada. Sebelum tubuh fisik terbentuk di dalam rahim, manusia sudah ada. Sebagian menyebutnya sebagai roh, keberadaan roh. Roh masuk ke dalam tubuh fisik.

Dari pemahaman akan kesadaran manusia pada sebuah makna eksistensi, kita bisa menemukan bahwa ada dan tiada adalah suatu dikotomi yang berkembang sesuai dengan perkembangan tingkat kesadaran manusia. Ada dan tiada kehilangan makna keterpisahannya. Ada adalah tiada, tiada adalah ada. 

Manusia yang belum lahir bisa disebut tidak ada namun sekaligus ada, karena dia sudah ada di dalam perut atau roh sudah ada sebelum tubuh fisik ada. 

Sama halnya dengan ketiadaan, manusia yang mati fisikal bisa dikatakan tidak ada lagi namun bisa juga dikatakan ada, karena rohnya toh masih ada, melanjutkan kehidupan selanjutnya. 

Tubuh fisiknya ? tubuh fisiknya juga masih ada, sebagian (tulang belulangnya) mungkin masih ada di tanah, sementara itu dagingnya digunakan oleh mahluk lain atau berada dalam eksistensi yang lain, dalam tanah, dalam tubuh belatung yang memakan tubuh fisik itu atau malah sudah masuk ke dalam tumbuhan (rumput/tumbuhan yang tumbuh disekitar kuburan atau bahkan sudah berada di tubuh  hewan (sapi yang makan rumput).

Lalu kita bicara penciptaan, penciptaan oleh Allah. 

Manusia menulis tentang penciptaan, tentang suatu keberadaan, sebuah eksistensi. Manusia menulis bahwa Allah menciptakan, Allah menjadikan sebuah keberadaan, sebuah eksistensi.

Kita yang manusia sudah bisa memahami bahwa ada dan tiada itu adalah kesemuan. Ada bisa dikatakan tidak ada, tidak ada bisa dikatakan ada.

Lalu terjadi perdebatan tentang mana yang lebih dulu ada, urut-urutannya, dan kemudian sampai kepada kesimpulan sepihak oleh manusia lainnya : "tidak logis", "salah" dan lain sebagainya...

Kita yang manusia saja sudah bisa memahami 'anehnya' atau 'lucunya' sebuah keberadaan, 'sebuah' ada dan tidak ada.

Dan kita berupaya menjangkau, menerka-nerka Allah melalui kitab kejadian.

Allah adalah awal, adalah keberadaan dan sekaligus ketidakadaan itu sendiri. Terjadinya segala sesuatu dari Allah, Allah adalah asal dari sebuah bahkan segala keberadaan. Terjadinya segala sesuatu oleh Allah adalah dari ketidakadaan, yang mana ketidakadaan itu ya Dia sendiri juga, karena pada mulanya yang ada hanya Dia saja.

Bagi manusia, ada dan tidak ada itu menjadi kabur dikotominya sebagaimana kontemplasi di atas, bagaimana dengan Allah yang bukan manusia bahkan diimani sebagai di atas manusia ? Sudah bagus kalau dipahami bahwa ada dan tidak ada bagi Allah itu juga sama kaburnya dikotominya. Bagaimana kalau tidak ada dikotomi sama sekali ? Tidak ada  yang namanya “ada” dan “tidak ada” dalam "kamus" Allah karena Dia adalah keberadaan dan sekaligus ketidak-adaan.

Lalu kita bicara kitab kejadian, dan meributkan hal itu. Hari pertama, hari kedua,hari ketiga dstnya... 

“Yang ini kok nggak logis ?”.  “Nggak mungkin ada ciptaan itu karena belum ada ini dan itu”.   “Yang ini bagaimana ?,  kok katanya sudah ada langit dan bumi di ayat ini, sementara di ayat satunya lagi nggak ada ?, absurd deh ini !”.  “Shamayim itu khan nama dewa bla..bla..bla..” “erets itu khan bumi bla..blaa.... “kenapa di ayat 1 tidak ada kata “berfirmanlah” ?”, aneh dan absurd tuh !...dstnya..dstnya...

Debat...debat...debat...
.........

Tidak ada ruang dan waktu bagi Allah namun sekaligus bisa dikatakan ada ruang dan waktu bagi Dia. Kenapa ? karena Dia adalah keberadaan dan ketidakadaan. Ruang tercipta oleh karena adanya batasan atau pembatasan, waktu tercipta karena adanya matahari atau bulan. Ruang dan waktu adalah dari Allah sehingga bisa dikatakan ada ruang dan waktu bagi Allah namun sekaligus juga tidak ada ruang dan waktu bagi Dia. Dia ada dan tidak ada ketika konteks pembicaraan adalah ruang dan waktu. 


Berkata-kata atau berpikir bagi sebagian manusia bisa dikatakan dua hal yang berbeda namun bisa dipahami sebagai hal yang sama saja, bedanya berpikir/pikiran tidak bunyi, kata-kata bunyi... tapi esensinya ya sama saja. Pikiran tidak harus dibunyikan karena toh bisa ditulis bahkan digambar. Bunyi (kata-kata) kehilangan makna otoriternya karena bisa digantikan oleh yang lainnya.


Berkata-kata dan diam bisa dikatakan sama saja karena kata-kata lahir dari sebuah ke-diam-an, berkata-kata adalah diam dan diam adalah berkata-kata. Kata-kata bisa menjadi sebuah diam ketika tidak ada yang mendengarkan.

Keberadaan sesuatu disebut ada setelah dikatakan, namun bisa juga tanpa kata-kata (dikatakan/difrimankan) karena keberadaan sesuatu itu adalah menjadi/bagian dari  Sang Keberadaan itu sendiri.

Dalam kejadian 1:1, langit dan bumi ada adalah karena keberadaan Allah itu sendiri, tanpa perlu ditulis setelah dikatakan/difirmankan atau bahkan difikirkan..
Ada dan tiada, ada adalah tiada, tiada adalah ada, manusia bisa memahami ini dan bisa terjadi pada manusia.

Bagi Allah ? ya apalagi ! :-)

Jadi ? Kitab Kejadian tidak akan habis-habisnya dibahas bagi yang mau berada dalam dualisme, dalam pendikotomian ada dan tidak ada.

Bagi yang mau memperdebatkan, selamat berdebat, mudah-mudahan otaknya pada capek sendiri dan mudah-mudahan segera mendapatkan pencerahan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.